Kamis, 20 September 2012

arwana

Aweh Tulada ing Blumbang Koi Arwana Semula kuli bangunan, kini sukses membudidayakan koi dan arwana. Asetnya tak kurang Rp 3 miliar. Untuk pertama kali ikan koi lokal bisa masuk majalah Jepang. Berhasil budidayakan arwana di Jawa. ~~~ HAMPARAN petak-petak kolam dengan angin sepoi menjadi sesuatu yang menyegarkan saat saya menyusuri jalan setapak diantara petak-petak tersebut. Sore itu langkah kaki memang membawa saya ke areal kolam di sekitar persawahan pinggiran Yogyakarta. Di salah satu sudut kolam, seorang lelaki sedang memberikan pakan pada sekelompok ikan yang didominasi warna merah, hitam dan putih. Dialah Santoso, pembudidaya ikan koi dan arwana yang sukses di Blendangan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta. Kini luas lahan pembudidayaannya mencapai 1,2 hektar dengan total aset kurang lebih Rp 3 milyar. Sebelumnya, Santoso tidak mempunyai pekerjaan tetap selain sebagai kuli bangunan. Penghasilannya dirasa tak mencukupi, sehingga awal 1997 ayah tiga orang anak ini mencoba membuat kolam untuk membudidaya ikan. Santoso pun harus bekerja keras untuk memulai usahanya. “Bikin kolam saja dikerjakan sendiri. Pagi nyangkul, jam setengah delapan berangkat ke proyek menjadi kuli bangunan. Sore nyangkul lagi untuk melanjutkan bikin kolam,” kata kelahiran 1970 tersebut. Tetapi Santoso tetap bertekad meneruskan usahanya. Tidak mempunyai keahlian yang lain justru membuatnya termotivasi memulai usaha membudidaya ikan. “Karena kalau saya tidak bekerja tidak bisa makan. Dan kebetulan keluarga saya keluarga tidak mampu. Sehingga saya tidak mungkin mengandalkan orang tua. Jadi bener-bener ikan itu satu-satunya sumber penghidupan saya. Istilahnya saya makan seadanya. Sedangkan untuk beli pakan ikan, kalau ada sisa ya dibelikan, kalau tidak ada ya dicarikan lumut atau apa. Pokoknya waktu itu bener-bener prihatin,” kenangnya. Untuk memulai, Santoso memerlukan modal Rp 300 ribu guna membeli bibit nila merah. Ia pun meminjam pada orang tuanya. Ternyata Santoso berhasil membesarkan bibit nila merah yang ia beli. “Dalam 3 bulan rata-rata berat ikan bisa dua sampai tiga ons per ekor. “Waktu itu di Yogya baru saya yang bisa melakukan pembesaran jenis ikan itu,” tuturnya. Pada waktu itu, nila merah masih dalam tahap diteliti mengenai pertumbuhannya. momen yang tepat Santoso pun mendapatkan moment yang tepat. Waktu itu petambak udang dan bandeng sedang kolaps karena serangan virus. Sehingga petani tambak di Juwana Pati mengambil bibit nila merah darinya. “Pertama kali saya mengirim 40 ribu ekor bibit nila merah, kemudian rutin tiap minggu supply ke sana,” paparnya saat ditemui di kolam pembudidayaannya. Dari situ Dinas Pertanian dan Kehutanan Sleman menganggap Santoso sebagai petani muda yang berhasil. Tapi setelah dihitung-hitung dengan kerja kerasnya, ternyata penghasilan yang ia peroleh tidak sebanding. “Dari nilai nominalnya, keuntungan berbisnis ikan nila merah waktu itu belum menjanjikan. Istilahnya jeneng entuk jenang ra entuk, dapat nama tapi penghasilannya pas-pasan,” ungkapnya. Akhirnya Santoso mencoba melirik membudidayakan ikan hias. Pilihannya jatuh pada ikan koi. Membudidaya ikan hias jenis ini pun ia bermodal tekad karena belum mempunyai latar belakang pengetahuan tentang budidayanya. “Kalau latar belakangnya justru agak sedikit mistis karena saya sering mimpi. Lebih dari tujuh kali melihat ikan warna-warni. Ikannya banyak, warnanya merah hitam, putih,” ujarnya. “Dan sampai saya memelihara ikan nila pertama kali, belum pernah melihat koi. Saya melihat koi baru tahun 1997 awal, waktu jalan-jalan di Pasar Ngasem. Saya melihat ikan koi dan merasa kok seperti yang ada dalam mimpi saya,” tambah Santoso. Dari situ kemudian pertengahan 1998 Santoso mencoba memelihara koi untuk dibudidayakan. “Pertama kali bibit beli dari pedagang dari Tulungagung yang mangkal di sekitar RRI. Saya membeli tiga ekor seharga Rp 260 ribu. Dulu uang sejumlah itu banyak sekali bagi saya, bahkan harus saya angsur dua kali membayar,” kenangnya. Ketiga ikan itu ternyata betina semua, tanpa pejantan. Setelah membaca buku dan bertanya kiri-kanan, barulah ia bisa membedakan jantan dan betina. “Kemudian saya bisa menelurkan atau memijahkan ikan koi,” ungkapnya. Enam bulan kemudian, pada 1999, Santoso sudah berhasil membudidaya koi dalam jumlah cukup banyak. Kualitasnya belum bagus. “Tapi saya yakin segala sesuatu kalau dikerjakan secara sungguh-sungguh pasti akan menghasilkan yang terbaik,” katanya bersemangat. juara lomba Tahun 2001, Santoso mencoba ikut lomba di Blitar yang kondang sebagai kota pusatnya koi. Ternyata ikan ternakan yang ia bawa bisa meraih juara dua. Keberhasilan itu memberi semangat yang luar biasa bagi Santoso. Karena yang tadinya ia dianggap tidak tahu tentang ikan dan masih terlalu muda untuk main koi, ternyata bisa meraih juara di tempat yang terkenal sebagai sumbernya ikan koi. “Dari situ saya yakin bahwa penilaian saya ke koi sudah mendekati kebenaran, sehingga saya fokus untuk ke koi terus,” kata Santoso yang kemudian menjadi Ketua Koi Club Yogyakarta dari tahun 2001 hingga sekarang. Dua tahun kemudian, Santoso ikut lomba di TMII, Jakarta. Ia membawa tiga ekor koi. Ternyata ia tidak bisa masuk sebagai peserta. Padahal, “Kalau lomba di Blitar saya asal membawa ikan. Kebetulan pula ada kenalan, jadi saya bisa ikut,” katanya. Akhirnya Santoso hanya jadi penonton. Itu pun cuma bisa mengintip dari pintu. “Mengintip di pintu satu hari. Saya cuma ingin tahu bagaimana caranya memilih ikan koi yang baik. Karena, selain peserta, tidak boleh masuk,” ujar Santoso sembari mengenang pengalamannya. Sepanjang tahun 2001 - 2004, Santoso mengaku, banyak menghadapi kendala penyakit koi. Namun, ia tidak menyerah. Waktu itu, ikan lou han sedang jaya-jayanya. “Tapi saya tidak beralih ke lou han, karena saya orangnya sangat fanatik dengan satu bidang. Saya tidak mau mencoba bidang yang lain sebelum yang saya tekuni maksimal,” ujar Santoso dengan tegas. raih penghargaan presiden Santoso pun terus berusaha mengembangkan kualitas budidaya koinya. Akhirnya tahun 2004 ia berhasil menyabet juara satu tingkat nasional dan diundang Presiden SBY ke istana untuk menerima penghargaan. “Tahun 2004 saya banyak perkembangan, ikan peternakan saya bisa juara best incest dengan jenis Showa Sanshoku (tiga warna). Dan itu pertama kali ikan lokal yang bisa masuk majalah Jepang. (Best incest = ikan yang terbaik diantara yang terbaik). Sejak itu nama Santoso banyak dikenal. Bahkan ia bisa masuk di organisasi APKI (Asosiasi Pecinta Koi Indonesia ). Sekarang ia duduk sebagai pengurus sebagai salah satu anggota litbang. “Dari dulu saya ingin dari Yogya ada koi yang bisa dilihat oleh luar daerah. Akhirnya saya bisa mewujudkannya. Setiap lomba APKI pasti ada Jogja Koi Club dan ada Santoso. Satu hal yang saya syukuri,” katanya. Lelaki yang berpenampilan sederhana ini, menambahkan, “Dan mungkin sayalah satu-satunya kulit hitam (pribumi –red) dari Yogya yang bisa masuk APKI. Bahkan pribumi yang duduk di APKI sepertinya hanya dua orang, saya dan orang Blitar. dari kolam 300 meterpersegi hingga 1,2 hektar Pada waktu pertama kali memulai budidaya ikan, kolam Santoso hanya seluas sekitar 300 meter persegi di tanahnya sendiri. Sejak tahun 2000 ia bertahap memperluas kolamnya dengan menyewa tanah kas desa. Kini keseluruhan kolamnya seluas 1,2 hektar. Jumlah karyawan tetapnya enam orang, dan tujuh orang lainnya buruh upahan pencari katak hijau. Produksinya selain dipasarkan di DIY juga ke Jakarta, Iawa Barat, dan Jawa Tengah. Jenis koi yang dibudidaya Santoso antara lain Showa Sanshoku, Taisho Sanshoku, dan Kohaku. Tahun 2005, ia pernah membudidayakan jenis Kojaku yang sekualitas dengan ikan koi dari Jepang. Tapi sayang indukan itu mati waktu ditinggal pameran di Bali. “Dan sampai sekarang belum bisa mendapatkan indukan dengan kualitas sebagus itu,” ujar Santoso dengan rasa menyesal. pembudidaya arwana pertama di Jawa Meski telah berjalan dengan pasar yang pasti, namun Santoso tidak berhanti sampai disitu. Tahun 2005 ia mengembangkan usahanya dengan memulai membudidayakan arwana. Untuk mulai membudidayakan arwana sebenarnya bukan hal yang mudah. Pasalnya, banyak yang meyakini arwana tidak bisa dibudidayakan di Pulau Jawa. “Katanya arwana tidak bisa diternak di Pulau Jawa. Makanya saya membuktikan, saya coba dan ternyata bisa,” kata Santoso. Bahkan sekarang aset Santoso malah lebih banyak arwana daripada koi. Jika dipilah, aset arwana mendekati Rp 2 miliar, dan aset koi masih kurang dari Rp 1 miliar. Asset arwana bisa lebih besar karena pasar arwana hampir seperti barang konsumsi. “Jadi kita punya barang berapapun tetap laku dengan harga rata-rata. Kebetulan yang kita jual ukuran 5 cm, per ekor Rp 30 ribu. Jadi kalau saya punya 3 atau 4 ribu ekor per bulan itu langsung laku semua,” paparnya. Pemasarannya sudah di kontrak, dikirim ke Jakarta dan Semarang. Lain halnya dengan koi yang mengalami beberapa tahapan. Seleksi awal, Santoso sudah membuang banyak ikan afkiran. Dari 40 ribu anakan, yang masuk kategori ada warnanya sekitar 2000 – 3000 ekor. Otomatis yang 30 ribu lebih menjadi afkiran dan dijual kiloan waktu kecil. Dari 2000 – 3000 tersebut, yang kategori bagus sebanyak 400 – 500 ekor. Dan dari jumlah itu, yang berkualitas lomba/kontes belum tentu 3 atau 4 ekor. “Itu kenapa koi untuk berkembang sangat lambat, karena memang sangat sulit prosesnya. Tapi disisi lain, kenikmatan peternak koi tidak bisa dibandingkan dengan beternak ikan yang lain. Karena ketika ada ikan yang sangat bagus menjadi kepuasan tersendiri. Tidak hanya menilai uangnya, tapi keberhasilan bisa menghasilkan ikan koi dengan warna-warna yang bagus itu menjadi semangat yang luar bisaa,” jelas Santoso. kendala dan keberhasilan Menurut Santoso, kendala dalam budidaya arwana adalah keterbatasan lahan. “Padahal kebutuhan pasar masih luas, tapi lahan sudah terbatas. Saya sedang melirik ke lokasi lain yang barangkali juga bisa untuk arwana,” katanya. Permintaan pasar untuk arwana, kata Santoso, per bulan hampir 10 ribu ekor. Pada tahun ini maksimal ia baru bisa memenuhi 6 ribu ekor per bulan. Sedangkan untuk koi, produksinya bisa sampai 100 ribu ekor per bulan, tapi yang layak jual hanya 300 – 400 ekor. Kendala lain adalah harga pakan untuk koi yang terus meningkat. “Dalam satu tahun ini naik sekitar 80 %. Selama enam bulan terakhir naik dari Rp 8 ribu per kilogram sekarang sampai Rp 13.600 per kg untuk eceran. Tapi kalau saya, beli dari pabrik,” papar Santoso. Sementara itu, untuk arwana, karena makanan alaminya katak sawah, kendala pakan terjadi saat musim kemarau. “Kebutuhan sehari 21 kg katak sawah. Kalau kemarau hanya bisa mendapat 9 – 10 kg. Jadi harus beli nila atau bawal untuk dicincang,” tambahnya. Dalam hal penyakit, arwana tidak ada kendala. Berbeda pada koi. Tapi, karena sudah 10 tahun membudidayakan koi, Santoso mengaku paham betul treatment-treatment khusus agar koi tidak terkena penyakit. Pernah, gara-gara penyakit yang menyerang koi, Santoso gagal menjalin kontrak pemesanan dari Jerman. Sebelumnya ia telah berhasil menembus pasar ke negara tersebut, tahun 2000. Tahun 2002 ada penyakit KHV (koi herpers virus) menyerang Indonesia, dan kontrak pun dibatalkan. Prospek usahanya, menurut Santoso, masih bagus. Karena dua jenis ikan hias legendaris ini harganya stabil dan tidak terlalu fluktuatif. Berbeda dengan jenis ikan hias lain, seperti lou han yang harganya tinggi, tapi kemudian jatuh setelah booming. Bahkan dalam kondisi ekonomi kurang baik pun tidak begitu berpengaruh. “Kebetulan koi dan arwana identik sebagai hobi kalangan atas. Jadi, meski ada pengurangan pemasaran akibat kondisi ekonomi, tidak terlalu terasa,” kata Santoso, yang belum lama ini ditawari dua investor untuk bekerja sama. Yaitu, mendirikan rumah makan ikan di kawasan kolam budidayanya. Persaingan pun tidak jadi kendala. Sebab, di Yogya belum ada pelaku usaha pembudidayaan arwana. “Kalau koi sudah banyak. Tapi petani yang khusus koi hanya saya. Pedagang yang ambil koi dari Blitar juga banyak, tapi saya malah senang, karena bisa beradu di kualitas. Makin ramai pemain, justru makin besar peluang kita,” kata pria kelahiran Yogyakarta ini. berdampak positif Keberhasilan usaha Santoso pun berdampak positif terhadap lingkungan sekitar. Paling tidak ada 12–13 orang yang hidup dari usaha pembudidayaan koi dan arwananya, yang tergabung dalam Kelompok Pembudidaya Ikan Mina Karya. Selain itu, Santoso juga memberi pelatihan keterampilan bagi peserta yang dikirim periodik oleh balai pelatihan keterampilan setempat. Berkat sukses Santoso, harga tanah di sekitar kawasan kolam budidayanya pun terangkat naik cukup tinggi. Dari harga Rp 25 ribu per meter pada 2001, kini melejit menjadi Rp 250 ribu per meter. –cahpesisiran, utk majalah saudagar- Mengenal Lebih Jauh Tentang Santoso Santoso pria kelahiran 1970 adalah pemilik peternakan ikan koi dan arwana yang sukses di Tegaltirto, Blendangan, Berbah, Sleman Yogyakarta. Segudang prestasi pernah diraihnya, Ia dikenal sebagai tokoh masyarakat yang sangat membumi di daerahnya. juga tercatat sebagai juri resmi APKI sejak Oktober 2005. Ia mengkhususkan ternak koi F1 dengan hasil anakan yang sering kali menjuarai lomba koi tingkat nasional, baik dari jenis, showa, kojaku maupun hi utshuri Peternak Andalan dan Juri APKI yang mengawali karier sebagai Kuli Bangunan Santoso jebolan STM yang sarat pengalaman asam-garam kehidupan. Ayah dari 3 orang anak ini bahkan pernah menjadi kuli bangunan untuk membiayai hidup keluarganya. Tahun 1997 dengan modal pinjaman Rp 300.000,- dari orang tuanya, ia mengawali ternak nila merah, yang saat itu masih dalam tahap penelitian untuk pertumbuhannya. Di tahun 1998 ia pertama kali mencoba memelihara ikan koi untuk dibudidayakan, dengan membeli 3 ekor koi seharga Rp 260.000,- dari pedagang Tulungagung. Namun sayangnya, ternyata ketiga ekor ikan itu betina semua. Setelah melalui pengalaman dan belajar dari buku maupun bertanya pada yang lebih ahli, di tahun 2001 ikan anakan Santoso berhasil menjadi juara dua dalam lomba di Blitar yang kondang sebagai pusatnya koi. Sejak itu ia lebih fokus mengembangkan koi, hingga kemudian ia terpilih menjadi Ketua Koi Club Yogyakarta di tahun 2001 hingga sekarang. Di bulan Oktober 2005 ia juga diangkat menjadi juri resmi APKI Pribadi Sederhana Peraih Penghargaan Presiden Santoso pribadi yang tekun dan sederhana. Ia lebih dikenal sebagai pria pendiam yang melihat dengan mata hati namun mempunyai keberanian dan semangat pantang menyerah. Dengan ketekunannya ia berhasil menjadi juara satu Budi Daya Ikan Hias tingkat nasional dan diundang SBY ke istana di tahun 2004. Di tahun yang sama anakkan koinya mendapat juara "Best in size" dan masuk majalah Nichirin di Jepang. Hingga sekarang setiap ada lomba yang diadakan APKI, Yogya Koi Club yang dipimpinnya selalu ikut berpartisipasi dan selalu merebut salah satu kategori juara. Pembudidaya Arwana Pertama di Pulau Jawa Tahun 2005 Santoso mengembangkan usahanya dengan mulai membudidayakan arwana. Jenis ikan ini diyakini sulit dikembangkan di pulau Jawa. Namun dengan ketekunannya saat ini Santoso dapat menghasilkan anakan arwana jenis silver Brasil 6000 ekor per bulan. Saat ini ia juga sedang mengembangkan jenis Super Red yang diharapkan dapat dipasarkan di tahun 2011. Saat pertama memulai budidaya ikan, kolam Santoso hanya seluas sekitar 300 meter. Sejak tahun 2000 secara bertahap ia memperluas kolamnya dengan menyewa tanah kas desa. Kini keseluruhan kolam miliknya telah berkembang menjadi 1,2 hektar. Pecinta Alam yang Memberikan Manfaat bagi Lingkungannya Selain beternak ikan, Santoso juga mempunyai minat yang besar pada budaya dan alam. Ia sering melakukan napak tilas mengunjungi tempat bersejarah dan mendaki puncak gunung di pulau Jawa seperti Merapi, Lawu, Slamet, dan Arjuna. Santoso juga mempunyai kepedulian yang kuat terhadap lingkungan dan masyarakatnya, Melalui kelompok tani "Mina Karya" yang dipimpinnya, dia membimbing 40 orang petani ikan di Yogya, Muntilan, Boyolali dan Kelaten. Saat ini para pecinta alam dan relawan lainnya di Yogya, ia sedang sibuk merampungkan peta jalur pengungsian bagi pengungsi gunung Merapi, untuk menghindari Lahar dingin yang dapat tiba-tiba turun menghancurkan. BERBAH –Meski permintaan pasar ikan hias cukup besar, namun produksi ikan hias di DIY baru 30 persen dari kebutuhan pasar. Selebihnya, untuk memenuhi kebutuhan pasar ikan hias di DIY masih dipasok dari luar DIY, terutama dari Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena itu, ke depan produksi ikan hias di DIY perlu ditingkatkan dengan dukungan dana, SDM, fasilitas dan sebagainya. “Potensi lahan dan air di DIY sangat memungkinkan untuk mengembangkan usaha ikan hias demi meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Karena itu perlu ada dukungan dana dari pemerintah dan pembinaan SDM untuk budidaya ikan hias,” kata Ketua Perhimpunan Ikan Hias Indonesia (PIHI) Cabang DIY Gimmy Rusdin Sinaga Spt kepada wartawan di kolam ikan hias “Mina Karya” Tegaltirto, Berbah, Sleman, Sabtu (2/8). Menurut Gimmy, dari 125 anggota PIHI di DIY baru ada satu yang secara profesional membudidayakan dan mengembangkan ikan hias yakni Santoso Koi, pemilik Mina Karya. Sedangkan selebihnya baru sebatas hobi dan belum menjadikan ikan hias sebagai sektor usaha profesional yang menghasilkan uang. Santoso Koi, pemilik “Mina Karya” Tegaltirto, Berbah, Sleman, mengatakan, sejak didirikan tahun 2005, usaha ikan hias jenis arwana dan koi yang dikelolanya, kini berkembang bagus. Meski mampu memproduksi anakan arwana sampai 6.000 ekor per bulan, namun jumlah itu masih belum mampu memenuhi permintaan pasar. “Singapura saja pernah meminta pasokan 5.000 per bulan tapi kami belum mampu memenuhi. Kendala utama kami selama ini adalah keterbatasan produksi. Padahal pasar terbuka luas dan harga ikan hias terus meningkat,” kata Santoso “Koi” kepada wartawan di kolam miliknya, Sabtu (2/8). Dikatakan, saat ini ia memiliki 9 kolam di atas lahan seluas 6.000 meter untuk 2.300 ekor induk ikan hias jenis arwana silver Brasil dan 8 ekor induk arwana super. Sementara ikan hias jenis koi ada di 21 kolam di lahan seluas 5.100 meter persegi. Total aset ikan hias milik Santoso saat ini mencapai Rp 3,6 miliar. Menurut Santoso “Koi” DIY sangat cocok untuk budidaya/ mengembangkan ikan hias maupun ikan konsumsi karena suhu udara di DIY, terutama di Sleman di atas 25 derajat celsius dengan PH air di bawah 7. Buka lapangan kerja Budidaya ikan hias tidak hanya menguntungkan bagi peternak tapi juga masyarakat sekitar karena banyak peluang kerja terkait dengan usaha tersebut. Seperti dialami Santoso “Koi”, dengan jumlah ikan hias yang diternak dan lahan yang tersedia, selain ia mampu mempekerjakan 5 karyawan tetap juga memiliki 5 pekerja lepas sebagai pemasok tetap pakan ikan berupa katak/kodok sawah. Setiap hari, Santoso membutuhkan minimal 20 kilogram katak/kodok sawah (hidup) untuk pakan ikan arwana. Sementara harga kodok yang dibeli Rp 10.000 per kilogram. “Semakin banyak ikan arwana yang diternak maka semakin banyak pula kodok yang dibutuhkan. Itu berarti membutuhkan banyak tenaga pemasok kodok,” kata Santoso yang mengaku menerima kodok hidup dari mana pun dengan harga Rp 10.000 per kilogram. “Tapi khusus musim hujan kami hanya menerima kodok dari 5 pemasok tetap karena mereka setia memasok kodok ke tempat kami kapan pun, termasuk pada musim kemarau seperti sekarang dimana kodok sulit dicari,” kata Santoso “Koi” (phj) Sumber: Bernas 4 Agustus 2008 Bisnis Koi Tembus Pasar Jerman Dikembangkan sebagai Alternatif Ikan Konsumsi Oleh Benny Dwi Koestanto dan Ari Susanto Yogyakarta, Kompas - Bisnis ikan koi di DI Yogyakarta mulai menembus pasar ekspor di Jerman dengan permintaan yang cukup besar. Namun, belum banyak petani yang mampu memanfaatkan peluang ini, karena membutuhkan modal besar dan keterampilan khusus. Ketua Kelompok Tani Mina Karya (Koi Center) di Tegaltirto, Berbah, Sleman, yang juga Ketua Jogja Koi Klub, Santoso, Rabu (29/3), mengatakan bisnis yang ditekuninya itu cukup prospektif. Selain termasuk ikan yang harganya mahal, ikan koi juga selalu diburu para penghobi yang mencari jenis eksklusif. Petani koi yang mendapat penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pembudidaya ikan darat terbaik tahun 2004 itu juga mengakui bahwa keuntungan bisnis ikan hias jauh lebih besar daripada ikan konsumsi, karena ikan hias memiliki pasar tak terbatas di luar negeri. "Awalnya ada orang Jerman ke sini, kemudian mereka memesan koi. Awalnya mereka beli 500 ekor, kemudian 700 ekor, lalu 1.500 ekor," ujar Santoso yang kini sedang mengembangkan pasarnya ke negara lain. Untuk pasar koi dalam negeri yang paling besar serapannya adalah Solo, Semarang, dan Jakarta. Selain penghobi, koi juga diminati pedagang ikan hias dalam jumlah besar. Setiap bulan, kelompok tani yang menjadi pelopor budidaya koi di DIY itu bisa menghasilkan 120.000 per ekor bibit koi dari pemijahan, yang kemudian diseleksi secara bertahap. Dari jumlah itu, 2.000- 3.000 umumnya berkualitas ekspor, sisanya berkualitas menengah ke bawah. Koi berukuran 15 cm itu dijual dengan kisaran harga Rp 5.000- Rp 100.000 per ekor. Unggulan daerah Dinas Perikanan dan Kelautan DI Yogyakarta mengangkat ikan hias sebagai salah satu produksi unggulan daerah, karena potensi pasar luar negeri itu. Namun, belum banyak petani yang mau menangkap peluang bisnis ikan hias itu. Pertimbangannya, risiko bisnis ikan hias lebih besar dibandingkan bisnis ikan konsumsi. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan DIY Koesnan Maryono saat meninjau panen benih ikan arwana di Berbah, Sleman, mengatakan saat ini pasar dalam negeri maupun luar negeri bisa menerima berapa pun pasokan ikan hias dari DIY. Karenanya, ikan hias akan dikembangkan di beberapa kabupaten, sebagai alternatif bisnis ikan konsumsi. "Belum banyak petani yang bisa bereksperimen dalam bisnis ini, salah satunya karena modal yang cukup besar," ujarnya. Hal senada juga dikatakan salah seorang pengurus Asosiasi Pengusaha Lobster Air Tawar Indonesia, Johan. Menurut Johan, salah satu kendala belum populernya bisnis ikan hias di DIY adalah keterbatasan modal petani, karena bisnis ini butuh lahan luas serta biaya operasional yang besar. Padahal, menurut Ketua Perhimpunan Ikan Hias Yogyakarta Jimmy Rusdin, karakter lingkungan DIY cukup potensial menghasilkan ikan hias yang lebih unggul dari sisi kualitas dan kuantitas, dibandingkan Blitar dan Tulungagung. Ini karena kondisi alam jauh lebih kondusif untuk perikanan. "Sleman dan Kulon Progo sangat potensial untuk ikan hias air tawar, sedangkan Gunung Kidul untuk ikan hias air laut. Potensi ini luar biasa. Sekarang tinggal pemasyarakatan budidayanya saja, karena jumlahnya masih terbatas," ujarnya. Jimmy menilai dukungan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota pada sektor perikanan, khususnya budidaya ikan hias, hingga kini masih belum optimal. Pemerintah dinilainya masih fokus pada pengembangan ikan konsumsi. Padahal, tambahnya, serapan pasar ekspor ikan hias cukup besar. Jebolan STM jadi milyarder Arwana Posted on April 29, 2010 by warta sembada Suara riak air terdengar nyaring memecahkan keheningan pedukuhan Blendengan, Tegaltirto, Berbah. Empat orang pria dewasa tampak sedang berada di dalam sebuah kolam yang masih becek berukuran 10×10 meter. Tangan-tangan cekatan mereka saling berkolaborasi membersihkan kolam yang masih terisi air dan sedikit lumpur tersebut. Sambil terus berjibaku dengan tepi kolam, sesekali mereka saling berbicara satu-sama lain. Di tempat itu ada beberapa kolam yang ukurannya hampir sama dengan kolam tersebut. Antara kolam yang satu dengan kolam lain tinggi airnya juga tidak sama. Sesekali ikan-ikan Koi yang ada di kolam muncul ke permukaan. Tak jauh dari kelompok kolam pertama, di sebelah utara juga ada deretan kolam yang lebih luas. Aroma di sekitar kolam yang sepenuhnya masih terbuat dari tanah itu sedikit lebih menyengat bila dibanding dengan komplek kolam yang satunya. Di sana, ikan-ikan Arwana besar yang panjangnya sekitar setengah meter muncul di antara belukar air. Bagi si pemilik kolam, Santoso, Arwana-Arwana itu adalah pembawa keberuntungan yang telah mengubah hidupnya. Pria yang tidak lulus STM jurusan elektro di sebuah sekolah negeri ini, tengah menikmati jarih payah budi daya ikan yang telah dirintis sejak 1996 lalu. Audit terakhir yang dilakukan oleh sebuah lembaga independen, total aset Santoso mencapai Rp3 miliar. Dia telah menguasai areal kolam seluas 1,2 hektar dengan jumlah indukan Arwana lebih dari 1.400 ekor. Dalam mengurus Arwana itu, dia dibantu sebanyak 16 pekerja mulai dari yang khusus mengurus kolam hingga yang mencari katak (pakan Arwana). Dua minggu sekali pria berumur 39 tahun ini memanen bibit Arwana silver. Sekali panen, bibit Arwana Silver yang telah memiliki panjang 7 cm totalnya bisa melebihi dua ribu ekor. Satu ekor anakan Arwana Silver dihargai Rp30 ribu. Artinya dalam dua minggu, hasil produksinya bisa mencapai Rp60 juta. Arwana Silver produksi Mina Karya, milik Santoso, dipasarkan ke Jakarta. Konon, sesampainya di Jakarta, anakan arwana itu diekspor oleh pemasok ke Singapura. Santoso mengaku, pencapaian yang sudah ia raih saat ini merupakan sebuah perjalanan yang rumit. Ayah tiga anak ini tidak langsung menjadi seorang milyarder yang memiliki aset Rp3 miliar. Empat belas tahun yang lalu, dia hanyalah seorang pria muda yang hampir putus asa karena tak kunjung bekerja. Dia pernah melamar kerja di sebuah perusahaan elektronika. Namun sayangnya, saat tes psikologi, dia dinyatakan gagal, karena hasil tes menunjukkan Santoso tidak berbakat menjadi seorang karyawan. Saat mencapai titik keputusaasaan, dia lantas meminjam uang sebesar Rp900 ribu dari kakaknya. Dari modal tersebut, dia lantas membeli 60 kg ikan Koi yang kemudian dibudidayakan di sebuah kolam seluas Rp300 meter. Rezeki tidak langsung turun dari langit, itu menjadi masa-masa yang sulit bagi Santoso karena ternyata semua Koi mati. Dari sikap pantang menyerah, dia pun melanjutkan asa dengan kembali membeli benih ikan Koi. Untuk panen yang kedua kalinya, Santoso sedikit mujur, jerih payahnya dia bisa menjual Koi yang pada saat itu masih dihargai Rp1.800 per kilonya. Lewat pembelajaran otodidak dia mencoba mengalihkan usaha. Tahun 2004 dia mulai mengembangkan Arwana Silver. Itu merupakan sebuah perjudian baginya karena selama ini mitosnya Arwana tidak bisa berkembang di tanah Jawa. “Budidaya Koi ternyata jauh lebih sulit karena sangat rentan penyakit sehingga saya mencoba berlaih ke Arwana. Perawatannya ternyata jauh lebih mudah,” kata dia. Namun Santoso membalikkan semua mitos tersebut. Lewat ketekunan dan semangat pantang menyerah, usahanya perlahan menunjukkan grafik yang mengingkat. Dia pun mulai memperluas kolam dari semula hanya 300 meter saja menjadi 1,2 hektar. budidaya ikan arwana di jogja Budidaya ikan arwana di DIY ternyata memiliki prospek cerah. Bahkan untuk pemenuhan ekspor ke Cina sebesar 15 ribu ekor per bulan, kini baru terpenuhi separuhnya saja. Ketua Kelompok Peternak Ikan, Mina Karya, Santoso mengungkapkan, kelompoknya sudah 6 tahun mengelola ikan Arwana dan hasilnya selalu memuaskan. "Kami sudah mengekspor ke Singapura dan China. Ke depan, prospek masih sangat luas, karena di DIY baru kami yang membudidayakan ikan asli Kalimantan ini," ungkapnya saat menemui kunjungan Gubernur DIY dan jajaran di kolamnya Dusun Blendangan, Tegaltirto, Berbah, Sabtu (18/6). Menurut Santoso, budidaya ikan Arwana juga tidak terlampau sulit. Hanya memperhatikan air serta suhunya. "Kendalanya itu hanya jamur. Makanya, jangan sampai airnya bersuhu dibawah 25 derajat. Sedangkan pakannya hanya dengan katak atau ikan bawal kecil," imbuhnya. Sedangkan musim panen bagi ikan Arwana biasa terjadi di Bulan Desember hingga Juni tiap tahunnya. Dalam sebulan masa panen, bisa dilakukan 4 hingga 7 kali panen. "Untuk tiap ekor indukan, bisa menghasilkan 90 hingga 140 bibit. Bibit inilah yang kita panen. Kemudian, setelah berusia 2 hingga 4 minggu, kita ekspor. Harga per ekornya mencapai Rp 26 ribu," papar Santoso. Jenis arwana yang dikelola Kelompok Mina Karya ialah Ikan Arwana Silver untuk konsumsi. Ada 12 kolam yang dibangun diatas lahan seluas kurang lebih 2 hektar. Ke depan, pihaknya ingin mengelola jenis Super Red. Menanggapi hal ini, Gubernur DIY Sri Sultan HB X menyatakan akan turut membantu penyediaan bibit jenis Super Red. "Ada 4 bibit Super Red yang dikelola oleh Dinas Perikanan. Nah, semuanya akan kami sumbangkan untuk dikelola Mina Karya. Prospeknya memang sangat bagus," tandas Sultan. Pusat Ikan Hias Berbah Sleman Yogyakarta Menikmati keindahan ikan hias di kolam yang berada di pekarangan rumah, gedung atau akuarium merupakan hal biasa bagi sebagian hobist. Tetapi menikmati keindahan ikan hias di pusat pembenihan merupakan pengalaman yang sangat menyenangkan. Bagaimana tidak menyenangkan, kita bisa menikmati keindahan ikan dari mulai burayak hingga indukan yang berukuran jumbo. Melihat satu ekor arwana berukuran jumbo di akuarium sudah cukup membuat saya berdecak kagum, tetapi melihat ratusan arwana dalam satu kolam, benar-benar mengagumkan. Perjalanan saya kali ini adalah mengunjungi sentra ikan hias di kawasan Blendangan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta. Lokasinya sendiri cukup mudah dijangkau, karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari bandara Adisucipto Yogyakarta. Di kawasan ini sejumlah breeder ikan hias Koi dan Arwana menjalankan aktivitasnya. Berbagai macam jenis koi dapat kita jumpai disana. Kolam indukan, kolam pembesaran koi dan arwana terhampar luas dalam suasana alam yang segar dan pemandangan yang indah,menambah kedamaian hati pecinta ikan hias yang berkunjung. Ada banyak breeder yang sudah menggeluti bisnis ini sejak bertahun-tahun yang lalu. Konon awalnya mayoritas adalah peternak ikan untuk konsumsi, akan tetapi melihat peluang bisnis ikan hias terutama koi dan arwana lebih menjanjikan keuntungan, perlahan-lahan mereka beralih ke budi daya ikan tersebut. Kolam Pembenihan Koi Kolam pembenihan merupakan tempat memijahkan indukan-indukan koi . Indukan-indukan koi ini biasanya dipilih dari koi yang memiliki kualitas unggul. Setelah indukan koi cukup umur untuk dipijahkan dan telur sudah cukup matang dalam perut koi, maka indukan dipisahkan dalam kolam tersendiri yang dikondisikan sedemikian rupa agar koi betina mau bertelur dan koi jantan mau membuahi telur-telur yang dibuahi. Setelah telur selesai dikeluarkan dan dibuahi, indukan perlu dipindahkan dari kolam pembenihan . Setelah sekitar empat hari telur-telur mulai menetas dan berubah menjadi burayak. Kolam Pembesaran Burayak koi yang sudah cukup umur dipindakan pada kolam pembesaran sampai umur beberapa bulan. Kolam pembesaran biasanya berupa kolam tanah (mud Pond). Burayak koi biasanya memakan makanan alami, yang banyak terdapat di kolam tanah. Akan tetapi pemberian makanan tambahan akan lebih bagus untuk pertumbuhan koi. Pada periode tertentu Koi-koi ini perlu diseleksi berdasarkan ukuran dan kualitasnya. Seleksi ukuran dilakukan untuk koi yang berujuran jumbo (Cepat pertumbuhan) dan koi yang lebih kecil. Koi kecil cenderung kalah dalam persaingan berebut makanan dan koi jumbo cenderung menang bersaing dalam berebut makanan. Fase kedua adalah seleksi kualitas koi,meskipun berasal dari indukan yang sama anakan koi memiliki kualitas yang beragam. Koi kulitas super, kualitas A, kualitas B dan kualitas sayur dipisahkan. Koi kualitas unggul dipertahankan untuk pembesaran atau dijual ke hobist dengan harga tinggi sedang koi afkiran dengan kualitas rendah dijual sebagai ikan lauk. Kolam Indukan Indukan Arwana Indukan koi dan arwana berkualitas ditampung dalam kolam tersendiri, makanan, kualitas air dan lingkungan betul-betul terjaga. agar indukan tersebut benar-benar sehat dan siap menghasilkan anakan ikan koi dan arwana yangbermutu tinggi. Kolam indukan koi berada pada kolam semen dengan sistem filtrasi dan aerasi yang optimal, selain ikan sehat juga dapat dinikmati keindahannya. Tidak jarang indukan ini sering diikutsertakan dalam berbagai macam kontes koi. Kolam indukan arwana berada pada kolam tanah (mud pond) yang airnya berasalah dari sungai di dekatnya. Meskipun berasal dari sungai kualitas air benar-benar terjaga. Indukan arwana sekilas nampak seperti monster dan buas, tetapi sepenarnya sangat jinak dan indah. Jenis arwana Super Red yang cukup langka bisa dijumpai di kolam indukan. Indukan terbanyak adalah jenis silver yang jumlahya puluhan bahkan mungkin ratusan yang tersebar dibeberapa kolam. Selain meninjau panen ikan Arwana di Blendangan, Tegaltirto, Sultan dan rombongan juga meninjau panen udang galah di Kadipolo, Sedangtirto, Berbah. Disini, Sultan berharap petani ikan udang memperhatikan pembibitan. "Selama ini, untuk bibit udang selalu mengambil dari luar daerah. Makanya akan lebih bagus jika kita usahakan lahan yang khusus untuk pembibitan," ungkap Sultan TRIBUNJOGJA.COM, SELMAN- Banjir di Sungai Kuning yang berhulu di Gunung Merapi menyebabkan budi daya ikan arwana dan koi di Dusun Blendangan, Desa Tegaltirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, terganggu. "Akibat banjir dari sungai berhulu Gunung Merapi beberapa waktu terakhir ini mengakibatkan penurunan kualitas air sungai akibat tercemar material vulkanik," kata Ketua Kelompok Sentra Budi Daya Arwana Mina Karya Santoso, Rabu (30/11/2011). Menurut dia, penurunan kualitas air tersebut mengakibatkan sejumlah induk arwana dan koi mati sehingga menganggu pembenihan ikan. "Kerugian mencapai puluhan juta rupiah, padahal memasuki musim panen ini permintaan benih khusunya ekspor benih ke China cukup tinggi hingga mencapai 15 ribu ekor per bulan," katanya. Ia mengatakan, tercemarnya air Sungai Kuning yang merupakan pemasok air utama untuk budidaya ikan arwana ini sangat mempengaruhi kualitas benih atau anakan yang dihasilkan. "Produksi benih menjadi kurang optimal, sementara untuk memenuhi tingginya permintaan dari luar negeri diantaranya Cina dan Singapura serta pasar lokal kami masih kewalahan," katanya. Santosa mengatakan, jumlah induk arwana yang dibudidayakan di sentra budidaya, saat ini mencapai 2.800 ekor dengan produksi benih tiap bulan mampu menghasilkan 8.000 hingga 9.000 ekor. "Dari 14 kolam beberapa diantaranya memanfaatkan air sungai untuk mengairi kolam budidaya. Untuk mengantisipasi kerugian akibat kematian induk dilakukan dengan menutup sementara saluran air dari Sungai Kuning yang mengarah ke kolam terutama saat terjadi banjir," katanya. Ia mengatakan, untuk mempertahankan produksi agar tetap optimal akan dilakukan dengan penambahan kolam dan menambah populasi indukan.(*)

2 komentar:

  1. Dapatkan pinjaman hari @ 2% bunga dan menghidupkan kembali bisnis Anda tanpa mengganggu, kami menawarkan $ 3,000.00 ke $ 20,000.000.00, email kami sekarang untuk informasi lebih lanjut tentang pinjaman yang Anda butuhkan. silahkan hubungi kami di: anitacharlesqualityloanfirm@gmail.com bersama-sama dengan informasi di bawah.
    {Lengkapi formulir di bawah pinjaman}
    Nama Anda: ===========
    COUNTRY: ===========
    NEGARA ===========
    ALAMAT: ===========
    GENDER: ===========
    JUMLAH DIPERLUKAN: ===========
    PERIODE: ===========
    NOMOR TELEPON: =========== =============
    akun yang lebih baik dari perusahaan yang sah.
    Hubungi kami di email ini: anitacharlesqualityloanfirm@mail.com
    Ibu Anita

    BalasHapus
  2. Dapatkan pinjaman hari @ 2% bunga dan menghidupkan kembali bisnis Anda tanpa mengganggu, kami menawarkan $ 3,000.00 ke $ 20,000.000.00, email kami sekarang untuk informasi lebih lanjut tentang pinjaman yang Anda butuhkan. silahkan hubungi kami di: anitacharlesqualityloanfirm@gmail.com bersama-sama dengan informasi di bawah.
    {Lengkapi formulir di bawah pinjaman}
    Nama Anda: ===========
    COUNTRY: ===========
    NEGARA ===========
    ALAMAT: ===========
    GENDER: ===========
    JUMLAH DIPERLUKAN: ===========
    PERIODE: ===========
    NOMOR TELEPON: =========== =============
    akun yang lebih baik dari perusahaan yang sah.
    Hubungi kami di email ini: anitacharlesqualityloanfirm@mail.com
    Ibu Anita

    BalasHapus